Misalnya seperti waktu kita belanja online. Kita di mintai testimoni atas barang serta pengalaman dalam tempat itu. Atau kita me-like satu fanpage facebook satu toko online serta menanyakan mengenai rekam jejak penjual itu ke rekan facebook. Lantas kita memberi referensi ke rekan lain di facebook untuk belanja atau mungkin tidak belanja di online shop itu.
Juga bisa saat berbalanja di kaskus selanjutnya anda cari tahu rekam jejak penjualnya. Ya, diakui atau mungkin tidak bermakna kita sudah lakukan kegiatan social commerce. Di mana kita sudah menyertakan media sosial untuk menolong belanja. Ada dua type social commerce. Pertama, connect where konsumen shop (tersambungsilah di mana konsumen berbelanja). Berarti tercukupi persyaratan: tempat pasarnya telah ada, banyak toko disana, banyak orang jualan disana. Ke-2, shop where konsumen connect. Berarti, bikinlah toko di mana beberapa orang ramai bergabung serta tersambungsi.
Indonesia ialah negara yang sosial. Serta beberapa warganet di negara ini benar-benar suka dengan sosial media.
Sayangnya, menurut survey yang serupa kurang dari lima juta pemakai sosial media ini yang belanja online.
Pada intinya ada tiga persoalan inti minimnya ketertarikan warganet Indonesia belanja lewat situs e-commerce konservatif. Pertama, akses. Dibanding dengan negara lain, pemakai medsos di Indonesia habiskan waktu semakin banyak di medsos harian (rerata seputar 5,1 jam). Jadi mereka lihat serta belanja cuman lewat medsos favorite mereka. Ke-2, jalinan dengan konsumen setia serta manajemen produk.